KH Zuhri Yakub: Ciri Bertakwa, Peduli Orang Lain

Sebagaimana kita tahu bahwa Allah mewajibkan kita puasa di Bulan Ramadhan dengan target pencapaian yang sangat jelas yaitu la’allakum tattaqun yang artinya bila kita melaksanakan puasa dengan sebaik-baiknya, maka diharapkan dan bisa dipastikan akan meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt.
Takwa itu adalah kondisi ideal manusia yang dengan keimanannya kepada Allah Swt mampu memainkan peranan hidup yang membawa kepada maslahat diniyah dan maslahat ke orang lain. Puasa sangat memungkinan membawa orang-orang yang lebih bermanfaat bagi maslahat hidupnya, membawa kebaikan dirinya dan kebaikan bagi orang lain.
Dimana pada bulan puasa itu ada dilatih membangun kesadaran sosial yang tinggi dengan merasakan lapar dan haus selama kurang lebih 13 jam dengan harapan munculnya empati terhadap orang-orang yang tidak beruntung di dalam hidupnya. Kemudian meredam segala bentuk kerakusan dunia yang ibarat dalam puasa dilarang makan dan minum, dilarang berhubungan suami istri dari terbit fajar hingga tenggelam matahari.
Itu artinya secara spiritualitas diharapkan kita menyadari bahwa hal yang halal saja Allah bilang tidak dan kita bisa menerimanya, apalagi hal-hal yang tidak dibolehkan artinya makanan minuman dan rizki yang diharamkan oleh Allah dari terbit fajar sampai tenggelam matahari, meskipun itu punya kita Allah mengatakan tidak maka kita turut.
Apalagi dalam kehidupan sehari-hari ketika Allah mengatakan jangan kau makan harta di antara kamu secara batil, maka orang yang berpuasa idealnya adalah orang yang mampu mengendalikan kerakusan dirinya.
Lalu apakah setelah berulang-ulang kita bertemu dengan bulan suci Ramadhan dan ibadah puasa terjadi peningkatan kualitas keimanan dan takwa yang siginifikan? Hal itu perlu diteliti dan dilihat dari perilaku kita. Dalam surah al Baqarah ayat 177, di sana bisa dijadikan alat parameter ketaqwaan. Dalam ayat tersebut Allah menyebutkan setidaknya ada lima poin parameter ketakwaan manusia.
Pertama, man aamana billahi wal yaumil akhiri wal malaaikati wal kitaabi wan nabiyyin. Itu artinya menerima dan meyakini prinsip-prinsip keimanan. Artinya bukan sekadar kita percaya kepada Allah atau menerima rukun iman tersebut sebagai dasar agama, tetapi bagaimana mengejawantahkan dalam perilaku dengan meyakini prinsip-prinsip keimanan.
Maka orang-orang yang imannya kuat akan semakin bertambah rasa takutnya kepada Allah dan orang yang rasa takutnya kepada Allah semakin kuat, maka dia akan menjadi semakin baik, semakin patuh kepada Allah dan akan semakin baik kepada sesama manusia.
Bagaimana dikisahkan dalam sejarah ketika Bilal bin Rabbah, iman sudah masuk dalam dirinya maka rasa takutnya kepada Allah mengalahkan rasa takut dari segala ancaman orang-orang kafir bahkan siksaan yang ditimpakan kepadanya.
Begitu pun Habbab bin Aradh, seorang sahabat yang masuk Islam. Dia dipaksa untuk murtad, diancam dengan besi merah yang sudah dibakar dan memerah diancam akan diletakkan di atas kepalanya. Namun dia tetap bertahan dengan keimannnya yang pada akhirnya besi itu benar-benar diletakkan di atas kepala Habbab bin Aradh.
Artinya, rasa takutnya kepada Allah begitu luar biasa, begitu besar mengalahkan rasa takutnya kepada siksaan yang diterimanya. Begitu pun orang-orang yang takut pada Allah membuat hidupnya semakin lurus, jujur karena dia hanya memandang kepada Allah.
Seperti yang terjadi pada Khalifah Umar bin Khattab yang bertemu dengan seorang penggembala kambing dimana yang saat itu ingin menguji dan melihat kualitas keimanan umat yang dipimpinnya. Dia menemukan seorang penggembala yang sangat jujur yang tidak mau menjual dombanya, walaupun dengan iming-iming harga yang berlipatganda dengan alasan dia bisa berbohong kepada tuannya tapi dia tidak bisa berbohong kepada tuhan.
Maka berkatalah Sayyidina Umar bin Khattab bahwa dia merasa bangga dan haru atas kualitas keimanan rakyat yang dipimpinnya seorang penggembala yang jauh dari perkotaan.
Itu salah satu penjelasan dari prinsip dasar keimanan, indikasi dari beriman dengan Allah yang dengan beriman itu semakin sempurna iman seseorang maka semakin tinggi kualitas takutnya kepada Allah dan kualias takut kepada Allah ini akan membawa seorang taat kepada Allah dan semakin baik dalam pergaulan.
Kedua, wa aatal maala ‘ala hubbihi dzawil qurba wal yataama wal masaakiin wabnas sabiil was sailiina wafir riqoob. Artinya orang yang bertaqwa itu indikasinya adalah memiliki kepedulian kepada orang-orang yang ada di sekitar terutama orang-orang yang kurang beruntung, memiliki empati yang besar kepada fakir miskin, memiliki kepedulian kepada orang-orang yang membutuhkan bantuan.
Orang yang di sekitar kita hari ini betapa banyak makanan basi di rumah, sementara di luar kita banyak orang-orang kelaparan. Kita memiliki tabungan dan deposito jutaan, ratusan juta dan bahkan miliaran, di luar sana ada orang yang masih berpikir besok saya makan apa.
Lalu dimana posisi kita? Orang-orang yang bertakwa itu tidak akan pernah membiarkan orang lain dalam kesusahan sebagai bentuk pengejawantahan dan ketakwaannya itu. Makanya Rasulullah Saw kemudian mengatakan bahwa tidak sempurna iman setiap dari kamu sebelum dia dicintai untuk orang lain apa yang sampai pada dirinya.
Makanya nabi juga pernah membuat pernyataan laisa minna man taaba syab’anan wa jaaruhu jai’un ‘indambihu ya’lam yang artinya bukan termasuk golongan kami orang yang tidur di malam hari dalam keadaan kenyang sementara dia tahu tetangganya dalam keadaan lapar.
Ketika puasa kita merasakan haus dan lapar, tetapi kita merasakannya itu sebagai sesuatu yang tidak nyaman, maka mestinya terbayang dalam diri kita bahwa Allah menyentuh perasaan kita yang terdalam. Allah menyentuh orang-orang beriman dengan perasaan yang terdalam untuk merasakan sendiri tidak enak dan tidak nyamannya lapar dan haus sehingga terbayang seperti apa mereka yang setiap saat diliputi oleh lapar, haus dan kesusahan. Bayangkan orang-orang yang seumur hidupnya arab dengan kesusahan.
Save of Crisis
Jadi ketakwaan itu salah satu bentuknya adalah memiliki kepedulian dan empati kepada orang-orang yang membutuhkan perthatian.
Apalagi dalam kepemimpinan nasional, dalam hal sebuah negara, seorang pemimpin dikatakan pemimpin yang bertakwa adalah mereka yang memiliki save of crisis terhadap rakyatnya. Dia tidak berfoya-foya dan bersenang-senang untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Tetapi bagaimana kondisi kekuasaannya, kepemimpinannya itu membawa manfaat buat rakyat yang dipimpinnya karena itu sebuah tanggung jawab. Seorang pemimpin yang bertakwa adalah pemimpin yang peduli dengan kondisi rakyat.
Ketiga, wa aqoomas sholata wa aataz zakat. Dalam hal ini, orang yang bertakwa adalah orang yang menjunjung tinggi ajaran agama, orang yang takut kepada Allah. Dalam Islam ibadah dibagi menjadi dua, yaitu ibadah mahdhoh dan ghoiru mahdhoh. Shalat mewakili seluruh ibadah mahdhoh (ibadah yang berkaitan langsung dengan Allah) dan ibadah zakat mewakili seluruh ibadah ghoiru mahdhoh (ibadah yang tidak berhubungan langsung dengan Allah tetapi perantara makhluk).
Artinya, orang bertakwa itu disamping punya kepedulian rasa yang begitu tinggi dan kepada Allah pun sangat taat. Karena ada orang yang taat pada Allah tapi tidak peduli sama lingkungan, dan ada yang peduli dengan lingkungan tapi tidak takut pada Allah. Nah, yang baik itu adalah di satu sisi dia baik kepada lingkungan dan takut kepada Allah.
Yang menarik justru kepedulian kepada lingkungan ditaruh di poin yang kedua. Artinya memang di luar ibadah seseorang dua ciri itu tadi adalah dia memiliki rasa tanggung jawab kepada orang-orang yang ada di sekitar.
Poinnya adalah kenapa kepedulian sosial didahulukan oleh Allah dalam ayat ini (ciri takwa) ketimbang melaksanakan shalat. Ya memang shalat penting tetapi apalah artinya orang yang shalat tetapi tidak punya kepedulian terhadap lingkungan sekitar.
Keempat, wal muufuuna bi’ahdihim idza ‘aahaduu. Orang yang bertakwa adalah orang yang menuju komitmen dalam menjalani hidup. Allah SWT memberikan talenta, bakat, skill atau kemampuan yang berbeda, dari situ Allah akan melihat bagaimana kita akan memanfaatkan karunia itu. Maka kemudian kalau kita tahu bahwa pintu surga itu banyak, itu artinya memang peluang masuk surga itu banyak sekali dan tidak ada satu bentuk kawalan.
Komitmen yang kita maksudkan adalah seorang yang baik ketika dia menjadi pejabat tetapi sesungguhnya di dalam surga pejabat itu dengan menegakkan keadilan dan kemakmuran bagi rakyatnya, mampu menjamin kesejahteraan rakyat yang dipimpin dan itu adalah jalan surganya bagi pemimpin.
Kemudian, jalan surganya orang kaya itu adalah bagaimana dengan kekayannya mampu menyejahterakan orang, kedermawanan itulah yang menjadi jalam surganya. Jadi komitmen orang kaya adalah kekayaannya dimanfaatkan seluas-luasnya untuk mampu membantu orang lain. Itulah yang disebut dengan wal mufuuna bi’ahdi midahakum.
Meminjam istilahnya Gus Dur, mukmin yang baik adalah mukmin yang profesional. Seorang ulama berkewajiban mencerdaskan umatnya, mencerahkan umatnya, itulah surganya bagi seorang ulama, dengan ilmunya dia mengantarkan kebaikan, mencerdaskan orang lain. Orang miskin dengan kesabaran dan doanya itu menjadi jalan kemaslahatan bagi seseorang.
Kelima, was shoobiriina fil ba’saai wadz dzorrooi wa chiinal ba’s. Sabar dalam menghadapi dinamika kehidupan karena bagaimanapun juga, kata ulama, di dunia ini adalah tempatnya salah, dan tidak ada orang yang mengejar kesenangan terus menerus di dunia kecuali orang-orang bodoh yang tertipu.
Artinya buat mukmin yang cerdas, menyadari bahwa hidup ini adalah sebuah dinamika kadang kita senang kadang kita susah, kadang kaya kadang miskin, kadang sehat kadang sakit. Kondisi apapun yang tidak kita kehendaki musibah, kesulitan, kafakiran, penderitaan, itu harus kita sikapi dengan optimisme dan husnudhon dengan penuh kesabaran, karena ini memang bagian daripada dinamika hidup.
Ciri khas orang beriman itu adalah sabar. Semua orang punya masalah, jangan dikira bahwa hanya orang miskin yang punya masalah. Orang kaya punya masalah, orang miskin punya masalah, tetapi bagaimana kita menyikapi masalah. Agama mengajarkan kita untuk berlaku sabar.

Kuncinya Sabar

Lima poin yang dicakup di sini sesungguhnya, bulan Ramadhan mampu untuk menerapi kita menerima kelimanya tadi. Caranya, dengan kondisi apapun kita akan tetap berpuasa dan hanya orang-orang yang beriman kepada Allah lah yang mampu menjaga puasanya. Karena walaupun kita di rumah tidak ada orang, kita bisa makan dan minum kita tidak lakukan itu. Kenapa? Karena kita puasa bukan karena takut istri atau anak, tapi kita puasa karena takut kepada Allah.
Bayangkan kalau sifat seperti ini dipelihara oleh kita, apalagi oleh para pemimpin insyaallah tidak akan menyimpang dari kepemimpinannya. Puasa melatih kita kesabaran, kata Nabi wasshobru tsawabuhul jannat yang artinya kesabaran itu adalah balasannya surga. Sebagaimana Allah katakan dalam Al Qur’an yang artinya Allah akan mencukupkan balasan dengan surga bagi orang-orang yang sabar tanpa hisab.
Itu akan melatih kita dengan dinamikanya melatih kesabaran kita, sabar untuk tidak makan dan minum (secara fisik), sabar ketika kita dicacimaki tidak harus melawan, sabar dengan segala penderitaan yang kita alami sepanjang hari tanpa kita harus mengeluh. Bahwa sesungguhnya orang yang mampu mentransformasi segala nilai-nilai puasa dia akan semakin mampu menghadapi segala gejolak-gejolak dan dinamika kehidupan.*

*Penulis adalah mantan Ketua PCNU Jakarta Barat/Tokoh Ulama Muda DKI Jakarta.

“Dalam hal sebuah negara, seorang pemimpin dikatakan pemimpin yang bertakwa adalah mereka yang memiliki save of crisis terhadap rakyatnya. Dia tidak berfoya-foya dan bersenang-senang untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Tetapi bagaimana kondisi kekuasaannya, kepemimpinannya itu membawa manfaat buat rakyat yang dipimpinnya karena itu sebuah tanggung jawab. Seorang pemimpin yang bertakwa adalah pemimpin yang peduli dengan kondisi rakyat.”

Komentar