Hijab Bukan Jilbab, Ukhti !

Saya masih bingung kenapa masih ada yang mengatakan bahwa hijab adalah busana, padahal saya sudah membuat kultwit tentang itu. Tapi saya sadar,bahwa berapa orang sih yang mau repot baca kultwit, pun di chripstory terdapat 50 Hit yang membacaya, walaupun saya mempercayai khasiat buzzing, yaitu jika 50 orang membaca pesan, maka diasumsikan 50 orang itu akan menyebarkan ke 10 orang, dimana ke 10 orang tersebut menyebarkannya ke yang lain , , akan ada kelipatan (50 x 10)2. Begitulah kira-kira teori buzzing dalam buku “Political Branding” Abangda Silih Agung Wasesa.  Namun yaah, tetap saja istilah yang saya temukan hijab itu adalah jilbab dan busana.

Emang apa sih isi kultwitnya?. Hmm.. sebetulnya sih bukan kuliah asli dari saya. Hehe..., hanya mengutip dan memberitahukan ulang isi buku “Kebebasan Wanita” yang ditulis oleh Prof. Abdul Halim Abu Syuqaah jilid 4, dengan tema Pakaian Muslimah. Pada bab pertamanya, Abu Syuqqah menerangkan kenapa ia menggunakan istilah jilbab , bukanlah hijab yang selama ini populer dikalangan masyarakat.

Hijab itu bukanlah jilbab, apalagi busana. Ia diartikan sebagai penghalang antar satu orang dengan yang lain, sehingga satu sama lain tidak bisa saling melihat. Sedangkan busana muslimah sesuai syariah  (Libas Syari’i) dengan cadar yang menutup wajah sekalipun, tidak menghalangi muslimah tersebut untuk memandang sesuatu.

Hijab pun dikhususkan untuk istri–istri Rasulullah. Yang dimaksud dengan hijab di sini adalah tata pergaulan ketika di dalam rumah. Ketika mereka keluar rumah, mereka mengenakan libas. Dan itu tidak dinamakan hijab.

Lantas, bagaimanakah libas syari’i tersebut? Ada lima syarat pakaian muslimah, yaitu menutup seluruh tubuh kecuali wajah, tangan dan kaki, tidak berlebihan dalam menghiasi pakaian, wajah, tangan dan kaki. Pakaian tersebut harus dikenal masyarakat Islam, berbeda dengan pakaian laki–laki dan wanita non muslim.

Islam tidak mewajibkan seorang muslimah mengikuti satu mode tertentu dan dia menghargai ‘urf atau budaya. Sebagai contoh, sebelum Islam datang, perempuan di Arab lazim memakai cadar sehingga yang terlihat hanyalah kedua bola mata, lalu Islam tidak menolaknya. Islam hanya menyeimbangkan dengan seruan membuka cadar ketika shalat dan menggunakan jilbab dari depan sehingga bisa diulurkan sampai dada. Hal ini menunjukkan bahwa islam menghargai kondisi, iklim, kebebasan bergerak yang berbeda– beda pada sebuah tempat dan zaman. Musibah larangan berjilbab yang menimpa para muslimah di Paris misalnya, memicu perkembangan model libas syari’i yang berbeda dari biasanya. Mode yang dikhususkan untuk para muslimah di sana. Dengan topi lebar dan beberapa syal, bisa menjadi alternatif untuk mereka.

Industri mode libas syari’i pada akhir–akhir ini menunjukkan perkembangan yang positif dan kreatif. Desain dan warna-warna yang anggun dan menawan telah menggoda para muslimah untuk tampil lebih baik. Ditambah model– model muslimah yang cantik dengan make up yang sederhana namun indah dipandang mata turut menggairahkan banyak muslimah untuk mengenakan libas syari’i.

Saya pribadi sangat bahagia dengan capaian dakwah yang dikerjakan dengan sangat kreatif tersebut. Namun ada beberapa hal prinsipil yang harus kita pegang sebagai hambaNya. Pastikan pakaian sempurna yang telah kita kenakan semakin meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT.

Sangat tidak elok, jika karena kita memakai jilbab dengan tuntutan ber ‘jarum pentul’ banyak apalagi malas mengulang kreativitas make up, maka kita menjadi kesulitan untuk berwudhu secara sempurna sehingga pada akhirnya kita tidak melakukan kewajiban Shalat. Bukan menghalangi untuk kita tampil menawan dan kreatif, namun saya kira, semua memiliki konsekuensinya bukan?.

Selamat cantik luar dalam wahai ukhti muslimah.

Oleh : Tsurayya Zahra

Komentar