Kisah Pedagang yang Jauh dari Allah

Inilah kisah Iwa, seorang pedagang yang mulai bingung dengan omset tokonya  yang cenderung menurun. Ketika tokonya sepi, ia mulai merenung-renung tentang “Mengapa tokonya jadi sepi, dan omset menurun?”

Setelah lama merenung, ia mendapati bahwa dirinya kurang bersyukur. Padahal ia mafhum, Allah, Tuhannya, yang juga adalah Tuhan semua pemilik toko di dunia ini, mewanti-wanti:

“Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mema’lumatkan, sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu. Sedangkan jika kamu kufur nikmat, maka azab-Ku sangat pedih.” (Ibrâhîm: 7).

Iwa ingat, dulu ketika dua tahun ia menganggur, ia sering menangis di hadapan Tuhannya. “Ya Allah, masa sih susah benar nyari kerjaan, susah benar nyari usaha? Saya bosan nganggur ya Allah,” begitu rintihannya.

Ketika bundanya bilang, “Wa, jangan jauhi Allah, kalau pengen kerja,” maka Iwa pun menurut. Ia rajin melangkahkan kaki untuk shalat berjamaah. Dan ia pun meringankan badannya untuk menegakkan shalat-shalat sunnah. Dan benarlah apa yang Allah katakan:

“Dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendaki-Nya…? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman.” (az Zumar: 52).

Akhirnya Iwa bisa membuka toko. Tapi ya itulah. Kilauan dunia kadang bisa menyurutkan iman. Aktifitas dunia, kadang malah membuat ibadah berkurang. Iwa, yang tadinya shalat tepat waktu, mulai mengakhirkan shalat. Iwa, yang tadinya menegakkan sholat-shalat sunnah, mulai hanya mengerjakan yang wajibnya saja. Iwa, yang tadinya shalat berjamaah, mulai sering shalat sendirian. Akhirnya, ya seperti yang dirasakan oleh Iwa, tokonya pun kini mulai surut pelanggan.

Setelah sadar, Iwa mau  memperbaiki dari apa yang bisa ia perbaiki. Dan ia menemukan bahwa yang harus ia perbaiki dimulai dari kualitas shalatnya.

Ia meyakinkan dirinya kembali, bahwa bukan lantaran pelanggannya yang banyak yang membuat ia beroleh rizki. Bukan karena kepintarannya berdagang, bukan lantaran kepiawaiannya menjalankan tokonya yang membuat ia menjadi makmur. Bukan! Semua karena Allah menghendaki. Sekali lagi terlintas dalam pikirannya sebuah firman Allah;

“Dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendaki-Nya? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman.” (az Zumar: 52).

SHALAT YANG BENAR

Hingga suatu hari ia menemukan kegembiraan. Kegembiraan karena Allah sudah memberikan pengajaran dan  ia mau menerimanya. Ia gembira dengan sesuatu yang diyakininya, bahwa Allah memang Maha Pemberi Rizki.

Syahdan, ketika ia memulai lagi shalat yang benar, tokonya tetap belum kunjung membaik. Sama saja seperti sebelum ia menegakkan shalat kembali. Dan keadaan ini berlangsung cukup lama, 6 bulan berturut-turut. Tapi Iwa menentramkan hatinya sendiri dengan  hal berikut ini:

Bahwa keridhaan Allah itu lebih penting. Buat apa ramai bila Allah tidak ridha. Karena ramainya toko bila Allah tidak ridha, nanti ia malah mengumpulkan keuntungan yang akan hilang begitu saja di kemudian hari. Bisa saja Allah beri ia masalah yang lebih besar dari keuntungannya.

“Dan keridhaan Allah itu lebih besar dari segalanya. Dan itulah keberuntungan yang besar.” (at Taubah: 72).

Iwa meyakinkan dirinya, bahwa meninggalkan keramaian buat menghadap Allah bila waktu shalat memanggil, adalah lebih utama. Bagi Iwa saat ini, berkata jujur ketika berdagang adalah perbuatan yang lebih menguntungkan. Sebab keridhaan Allah ada pada pedagang yang jujur. Dan bagi Iwa, ketika punya hasil, ia bisa menyedekahkan sebagiannya, inilah perbuatan yang lebih beruntung.

Dalam kekurangannya ia mengenal Allah. Dalam kesempitannya ia bisa mengakrabkan diri lagi kepada Allah. Bukankah ini yang lebih penting dari segala apa yang ia cari? Dunia bisa hilang, karena begitulah sifat dunia. Awalnya tidak ada. Allah yang membuatnya ada. Allah yang membuat dirinya menjadi bisa memegang dunia, dan menikmatinya. Maka Allah pula yang kuasa menghilangkannya. Lalu, kalau sudah tahu semuanya di tangan Allah, apa yang lebih menentramkan hati selain dekat dengan Allah? Dan apa yang lebih utama untuk dikejar selain mengejar Allah?

Dalam pikirannya, dan dalam hatinya, ia malah bersyukur. Dengan sepinya dia punya toko, dia malah “bisa latihan” istiqamah menegakkan salat tepat waktu dan berjamaah. Ia menghibur hatinya, siapa tahu ketika Allah menganugerahkan kembali kejayaan tokonya, keramaian tokonya, ia masih bisa istiqamah.

Begitulah Iwa. Ia membesarkan hatinya sendiri. Ia menentramkan dirinya sendiri. Mencukupkan dirinya dengan keridhaan Allah dan pemberian Allah.

SHALAT BERJAMAAH

Pagi hari, ia bangun sebelum subuh, menyempatkan diri untuk shalat tahajjud. Terus ia jaga sampai waktu shalat shubuh. Setelah ia bangunkan istrinya, ia bergegas ke mushala untuk shalat berjamaah.

Setelah ia pulang dari mushalla, ia sempatkan untuk berolah raga jalan kaki di pagi hari. Menyegarkan! Sebelum jalan ke toko, ia sempatkan lagi shalat sunnah dhuha. Ia sadar, rezeki yang ngatur Allah. Kenapa lantas ia tidak menghadap Allah dulu, begitu pikirnya.

Ketika tokonya sedang ramai-ramainya, ia tinggalkan tokonya. Gantian dengan karyawannya untuk shalat. Zuhur dan Ashar dia usahakan untuk shalat tepat waktu.

Tokonya kini Iwa jalankan dengan kejujuran. Terhadap pelanggan dan pemodal, ia usahakan untuk tidak neko-neko. Yang wajar saja.

Akhirnya badan dia lebih sehat, dan lebih segar. Dulu, ketika ramai, ia sering mengeluh sakit. Salah satunya mungkin karena sekarang ia lebih banyak bergerak, dan.mungkin karena sekarang lebih damai dia punya hati, lebih tentram dia punya jiwa.

Oleh : Ustadz Yusuf Mansur

Komentar